Fenomena Rebo Wekasan di Masyarakat Jawa

FENOMENA REBO WEKASAN DI MASYARAKAT JAWA
Oleh : HADI MULYANTO

Definisi Operasional
Besok tanggal 1 januari 2014 bertepatan dengan hari rabu, menurut orang jawa bahwa kalau hari rabu di akhir bulan shafar biasanya di orang jawa menamakannya dengan istilah  Rebo Wekasan.Rebo artinya hari rabu sedangkan wekasan atau pungkasan artinya terakhir. Rebo Wekasan terdiri dari dua suku kata, rebo dalam bahasa jawa artinya hari Rabu, sedangkan Wekasan atau pungkasan artinya terakhir, sehingga dinamai Rebo Wekasan. Dalam konteks ini yang di maksud ‘Rebo Wekasan’ yaitu hari Rabu yang ada pada terakhir di bulan Shafar. Sedangkan bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam setelah bulan muharram ( syuro : bln.jawa ).
Asal Usul Rebo Wekasan
      Asal-usul Perayaan Rebo Wekasan bagi masyarakat muslim Indonesia diawali dari informasi orang-orang tua dari generasi ke generasi, dari guru kepada santri, dari sesepuh ke generasi yang lebih muda dengan tidak menyebutkan  suatu peristiwa khusus seperti perayaan di Gresik, Yogakarta , Demak,  Clacap, Cirebon, Tegal dan lain-lain. Perayaan ini dilakukan atas suatu keprihatinan yang mendalam dari keyakinan bahwa Allah telah menurunkan 320.000  bencana pada  hari Rabu terakhir bulan Shafar tahun Hijriyah yang disebut dengan Rebo Wekasan. Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bulan Shafar adalah bulan Tasa’um atau kesialan. Anggapan ini masih diyakini sebagian umat muslim hingga saat ini, termasuk sebagian bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
      Literatur
Sumber-sumber rujukan yang digunakan sebagai sandaran perayaan Rebo Wekasan adalah kitab-kitab klasik yang rata-rata ditulis pada akhir abad 17 M dan awal abad 18 M. Kitab-kitab rujukan ini adalah hasil karya para cendekiawan Islam yang bukan berasal dari tanah Jawa. Oleh karena itu perayaan Rebo Wekasan bukan budaya asli budaya Jawa meskipun menggunakan istilah Jawa. Di antara kitab-kitab rujukan yang digunakan adalah: Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir karya syekh Ahmad al-Dairabi, Kanzun al-Najah karya Syekh Abd al-Hamid al-Qudsi, al-Jawahir al-Khams karya Syekh Muhammad Khatir al-Din al-Atthar, Syarah Sittin, Khazinat al-Asrar dan lain-lain.
Rebo Wekasan di Malam Tahun Baru.
Akhir-akhir ini beredar mitos bahwa pada malam tahun baru yang jatuh pada hari Rabu terakhir bulan Shafar (perhitungan Jawa) atau dalam bahasa Arab pada waktu itu masuk pada Arba’ Mustamir. Dalam mitos Jawa, malam tahun baru 2014 ini jatuh pada Rabu Wekasan.Pada tahun-tahun sebelumnya, tidak ada tahun baru yang jatuh pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Dalam mitos tersebut juga disebutkan bahwa Tuhan akan menurunkan beribu-ribu Malapetaka di malam Tahun Baru 2014.
Ragam Ritual di Berbagai Daerah
1. Tegal
Di Gunung Tanjung Lebaksiu Kab.Tegal masyarakat dari berbagai lapisan mulia dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa berbondong-bondong menghadiri acara tahunan Rebo Wekasan.Pengunjung berasal dari Tegal, Brebes, dan Purwokerto bahkan Jakarta. Mereka membawa nasi onggal-anggil atau nasi kuning menuju makam Mbah Panggung yang berada diatas bukit. Tak jauh dari bukit  terdengar sayup-sayup suara gendingan Jawa, rupanya sumber suara itu dari pagelaran wayang kulit. Mereka mengikuti kegiatan Haul Mbah Panggung. Namun ada yang semata-mata mencari jodoh, penglaris dagangan hingga karir.
2. Cirebon
Ngapem, Ngirap dan Rebo Wekasan, adalah tradisi Saparan Cirebon. Ngapem, berasal dari kata Apem, yakni kue yang terbuat dari tepung beras yang difermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari gula jawa dan santan. Umumnya, masyarakat Cirebon sampai sekarang masih melakukan ini dengan membagi-bagikan ke tetangga. Ini adalah ungkapan syukur (Selametan) di bulan Sapar (Jawa) agar kita terhindar dari malapetaka.Ngirab, yang artinya bergerak atau menggerakkan sesuatu untuk membuang yang kotor, adalah adat masyarakat Cirebon mandi di sungai Drajat (petilasan Sunan Kali Jaga). Dengan menggunakan perahu, mereka ngalap berkah di sungai yang konon tempat Sunan Kali Jaga membersihkan diri, pada Rebo wekasan saat berguru kepada Sunan Gunung Djati. Rebo wekasan, ritual ini biasanya terlihat ketika segerombolan anak-anak kecil berkopyah dengan sarung yang dikalungkan ke badannya ,berkeliling dari rumah ke rumah masyarakat sambil menyenandungkan nyanyian “Wur Tawur nyi tawur, selamat dawa umur…” (Bu, bagikanlah sesuatu ke kami, semoga selalu sehat, aman dan panjang umur..). Yang artinya, selamatlah Anda setelah hari Rebo terakhir ini. Biasanya, si empu rumah akan menanyakan, “Sing endi cung?” yang akan dijawab oleh gerombolan tadi, dari pesantren, kampung atau daerah mereka tinggal. Ritual unik itu berlangsung sesudah sholat Isya’ sampai Subuh.
4. Plered
Upacara Rebo Pungkasan Wonokromo Plered ; Rabu Pungkasan (Rabu Wekasan) bagi masyarakat Yogyakarta memiliki historis tinggi, upacara ritual yang rutin diadakan pada Rabu akhir pada bulan Shafar di lapangan desa Wonokromo Plered Bantul Yogyakarta ini berlangsung sejak 1784 M, ada juga mengatakan sudah ada sejak tahun 1600 M. latar belakang dari upacara ini adalah pertemuan antara Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan Kiai Faqih Utsman, seorang ulama yang menjadi penasehat spiritual Raja Ngayogyakarta sekaligus tabib (ahli pengobatan) yang mampu menyembuhkan penyakit yang menyerang warga Wonokromo. Tempat pertemuan di tempuran Kali Opak dan Kali Gajah Wong.
5. Bantul
Tradisi Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan dilaksanakan sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Puncak acara dalam tradisi ini adalah kirab lemper (makanan yang terbuat dari beras ketan) raksasa berukuran tinggi 2,5 m dengan diameter 45 cm dari Masjid desa Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo. Kirab ini diawali dengan barisan Kraton Yogyakarta, disusul lemper raksasa, dan kelompok kesenian rakyat seperti sholawatan, kubrosiswo, rodat dan sebagainya. Lemper raksasa tersebut dibagikan kepada para undangan yang hadir, sedangkan gunungan makanan yang lain diperebutkan oleh masyarakat untuk dibawa pulang. Karena dianggap mempunyai berkah bagi yang bisa membawa pulang. Pergelaran tradisi ini juga diisi dengan pesta rakyat, berupa pasar malam dan pergelaran seni tradisional.
6. Gresik
Ritual Rabu terakhir di Gresik lain lagi, tradisi yang sudah ada dari ratusan tahun lalu itu lebih terlihat sebagai acara sebagaimana khaul atau acara pengajian pada umumnya. Ini tak lain pada hari jadi, di Suci Gresik diadakan acara selametan dan pengajian umum serta ajang silaturahmi. “Di suci Gresik, acara Rabu wekasan adalah acara silaturahmi” begitu komentar tokoh yang tidak mau disebutkan namanya. “Jadi ada hikmah besar yang dapat diambil manfaat dalam perayaan Rabu wekasan di sini” lanjut beliau.
7. Jember
Rabu Wekasan di Jember diisi dengan antrian masyarakat mengabil air yang diyakini memberi berkah. Ini terjadi di desa Wringin Agung Jombang, Jember Jawa Timur, pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, masyarakat berduyun-duyun antri di sebuah gentong mengambil air darinya, yang diberi piring bertuliskan rajah Arab
Dari fenomena ritual rebo Wekasan di atas penulis berpendapat bahwa ragam implementasi dari pemaknaan Rebo Wekasan intinya mengharapkan keselamatan di dunia dan di akherat melalui macam perwujudannya semisal membaca doa,  minum air azimat, sedekah bersama dan shalat li daf’il bala’. Untuk pembacaan do’a di mulai setelah habis sholat maghrib dilanjut dengan membaca QS. Yasin 3 kali. Adapun tujuan minum air azimat adalah untuk mendapatkan berkah dari ayat-ayat yang ditulis dalam wifiq. Untuk pelaksanaan shalat lidaf il bala, melaksanakan mulai waktu dhuha pada hari Rebo Wekasan dengan cara individu. Dengan demikian mari manfa’atkan momentum Rebo Wekasan ini sebagai warning sekaligus refleksi untuk bermuhasabatunnafsi kepada diri kita agar senantiasa selalu dekat kepada Allah SWT.

HADI MULYANTO
Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam
Unwahas ( Universitas Wahid Hasyim ) Semarang

Related posts

4 Thoughts to “Fenomena Rebo Wekasan di Masyarakat Jawa”

Leave a Comment