Tegal dalam Kacamata Pramudya Ananta Toer

amangkurat_i Meninggalkan Brebes berarti juga lambat laun meninggalkan tanjung atau Ujung Brebes. Sebelas kilometer kemudian, setelah Jalan Raya Pos mendekati pantai, tibalah orang di Tegal, terletak di hampir terdalam garis garis teluk lebar. Tanahnya subur dengan menghasilkan aneka ragam hasil bumi melimpah. Tidak mengherankan bila sebelum dan semasa Daendels, kota-kota pantai pesisir teruatama Tegal menjadi mangsa perompak yang datang gelombang demi gelombang. Dengan dalih melindungi keselamatan penduduk, VOC mendirikan benteng. Sama seperti di kota-kota pantai pesisir Laut Jawa selebihnya.

Baik sebelum masa ofensif Mataram ke Batavia, 1629, Tegal adalah gudang beras Jawa Tengah, dan memasok ke bagian timur Nusantara. Juga dalam mengekspornya, para pedagang harus waspada terhadap bajak-lanun. Mereka itu begitu beraninya, dapat dipastikan lebih baik mati daripada menyerah, sehingga sekali dan juga mereka serang kapal-kapal meriam Kompeni. Sebaliknya, VOC menamai lawan-lawannya yang beroperasi di laut: bajak atau perompak. Keamanan di darat Tegal dilakukan oleh polisi-polisi Pribumi berseragam dan berpeci biru, bersenjata kelewang dan pestol, berkuda, dinamai: Jayeng-sekar. Pasukan ini berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik tetapi di ibukota karesidenan di bawah pejabat kulit putih.

Kota di belah oleh Jalan Raya Pos dari timur ke barat dan oleh Kali Gung dari selatan ke utara sampai Laut Jawa. Dahulu muara sungai menjadi tempat berlabuh kapal-kapal antar-pulau. Tetapi lumpur yang dibawa sungai membawa bentuk gosong-gosong yang selau muncul sehabis dikeduk, pemerintah Kolonial kemudian membangun kanal, memindahkan pelabuhan, yang terpisah dari Kali Gung.

Konon, orang Tionghoa sudah bermukim di kota bandar ini sejak sebelum abad 10. Bisa dipercaya karena posisi Tegal sebagai gudang beras, dan sampai bangkrutnya VOC dan berganti Hindia Belanda, Tegal tetap pengekspor beras dengan pelabuhan sendiri yang sudah tersedia.

Dalam ofensif Mataram pada 1628 dan 1629 Tegallah yang diperintahkan Mataram menyediakan beberapa kapal pengangkut dan panglimanya sekaligus. Kegagalan ofensif tersebut membuat Laut Jawa sepenuhnya dikuasai Kompeni Belanda. Tak bisa lagi kapal kaluar aatu masuk dari dan ke Jawa tanpa ijin VOC. Kapal-kapal meriam menjamin agar peraturannya mempunyai kekuatan. Dengan kata lain inilah blokade terhadap kerajaan Jawa di pedalaman, kemerosotan golongan menegahnya yang sinonim dengan pedagang antar-pulau dan pemilik kapal, terhalau dari wilayah-wilayah pelabuhan karena terdesak oleh para pedagang penetap Tionghoa, yang bertindak sebagai pengumpul dan eksportir. Tanpa tersa ofensif gagal Mataram lambat laun menggiring golongan menengah pribumi ke pedalaman. Dalam sastra Jawa, babak sejarah ini dipaterikan dalam kisah percintaan Roro Mendut, perawan Pati yang ditawan Mataram dengan Ponocitro, anak seorang pedagan antar-pulau dari daerah pesisir. Sekitar dua ratus tahun kisah ini memukau masyarakat Jawa tanpa pernah mendapat sorotan dari sudut sejarah.

Semasa kolonial, Jalan Raya Pos, selain membelah kota juga membatasi rasial. Sebelah utara jalan raya menjadi pemukiman Eropa, bagian selatannya pemukiman Tionghoa dan diluar dua-duanya baru pemukiman pribumi.

Setelah Kompeni merasa kukuh menguasai Tegal, bentengnya diubah peruntukkannya menjadi penjara. Sampai jauh di alam kemerdekaan nasional.

Tegal tak dapat dipisahkan dari peristiwa sejarah yang sebagai kelanjutan dari jatuhnya Laut Jawa ke tangan Kompeni, juga merasuknya kekuasaan Kompeni ke pedalaman wilayah kerajaan Jawa. Beberapa kilometer di selatan Tegal terdapat makam Tegalwangi, makam Amangkurat, yang setelah wafat mendapat julukan Amangkurat Tegalwangi. Terhalau oleh pasukan pemberontak Trunojoyo yang seperti air bah menerjang dari Surabaya ke Mataram, ditinggalkan oleh para pangeran perabot kerajaan, Amangkurat melarikan diri ke utara. Dengan tetap emngukuhi kebesarannya sebagai raja, berkendara gajah dengan mengangkuti pusaka keraton sebagai alat legalitas kekuasaannya, ia menuju Tegal untuk minta bantuan VOC. Itu terjadi pada 1677. Sebelumnya, pada tahun itu juga benteng yang dibangun Trunojoyo di Surabaya jatuh ke tangan Belanda pada 13 April 1677, dan terampas lebih seratus meriamnya. Tak ada jalan baginya daripada meneruskan pemberontakannya ke barat, mengahalau Amangkurat dari istananya. Kakek Amangkurat dalampelarian tak pernah mencapai tujuannya. DI tengah jalan ia tak mampu lagi naik gajah sehingga harus ditandu. Putera mahkota yang meninggalkannya menyusul dan menemukannya. Dan justru putera yang satu ini yang paling tidak dipercayainya di antara semua puteranya. Menjelang wafat, padanya ia serahkan semua yang dapat dibawanya lari: kekuasaan atas Mataram dengan semua benda pusaka sebagai tanda legalistasnya. Naik jadi raja dengan gelar Susuhunan, ia hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan VOC dan memulai memanggil Gubernur Jenderal (di sini: Gubernur Jenderal Speelman) dengan Eyang yang berarti: Kakenda, yang mentradisi sampai jatuhnya Hindia Belanda pada 1942.

Pramoedya Ananta Toer
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

posted by Khoerul Anam Syahmadani

Tambahan dari @infotegal:

Berdasarkan informasi dari juru kunci / pengurus makam Amangkurat I, ada banyak versi mengenai Amangkurat I dengan VOC. Namun yang benar adalah Amangkurat I bekerjasama dengan VOC hanya dalam hal perdagangan tidak ada hubungan kerjasama dalam bidang politik.

Related posts

3 Thoughts to “Tegal dalam Kacamata Pramudya Ananta Toer”

Leave a Comment