….tanpa adanya komitmen dan kreativitas dari pemerintah beserta segenap masyarakat untuk memecahkan persoalan ini maka “mimpi buruk kami” cepat atau lambat akan menjadi nyata.
Tepat setahun yang lalu kami bersama teman-teman SMA 1 Slawi melakukan kegiatan bertajuk amal di TRASA (Taman RakyatSlawi), selama Ramadhan setiap sore kami berjualan tajil di tempat ramai ini yang mana keuntungan dari penjualan tersebut kemudian kami salurkan kepada anak-anak di panti asuhan di Kab Tegal. Sembari berjualan tajil kami mengakrabkan diri dengan adik-adik yang biasa bermain juga (maaf) meminta-minta, selama satu bulan itu kami berusaha memosisikan diri menjadi sosok yang akrab bagi mereka untuk kemudian mengorek info tentang motivasi, dorongan dan alasan mereka meminta-minta. Sejujurnya kami merasa empati dengan mereka, karena sebagian besar dari mereka lahir sebagai yatim/piatu/yatim-piatu sisanya merupakan anak-anak korban perceraian dan orang tua yang apatis terhadap pergaulan dan masa depan mereka.
Tahun ini kami melakukan kegiatan amal yang sama dan kembali kami temukan wajah-wajah mereka ditambah wajah-wajah baru yang sama lugu dan memprihatinkan. Setelah hampir setahun tidak bertemu (karena harus kuliah di luar kota) alhamdulillah mereka masih mengenali wajah dan nama-nama kami. Dari situ kami terpanggil untuk kembali mengorek perjalanan hidup mereka selama setahun ini. Ternyata sebagian dari mereka kini sudah tidak bersekolah atau lebih tepatnya malas bersekolah.
“Males mas, enakan kaya gini bisa cari uang buat jajan dan main PS” kurang lebih itu yang dikatakan ketika kami tanya alasan mereka berhenti bersekolah. Tentu tidak ada yang salah dari kata-kata yang keluar dari mulut anak kecil itu, wajar semua anak kecil memang lebih menyukai jajan dan bermain ketimbang harus susah payah mikir di sekolah. Namun demikian, itu berlaku dalam konteks pandangan mereka yang masih sederhana dan pendek. Bagaimana dengan kita? Tentu itu salah tapi (maaf) itu bukan salah mereka.
Di kampus, kami diajarkan bahwa kebudayaan menurut J.J Honigmann dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man terdiri atas tiga wujud, yaitu ideas (Prof. Dr.Koentjaraningrat menyebutnya “kepercayaan”),activities (tindakan) dan artifacts (benda-benda fisik kebudayaan) yang berlaku, dikuti dan dilaksanakan oleh masyarakat tertentu.
Tindakan meminta-minta (mengemis) memenuhi ketiga wujud itu. Di Indonesia, pengemis tidak dianggap sebagai suatu hal yang salah (kepercayaan), hal ini bisa dibuktikan oleh pengalaman pribadi masing-masing dimana hampir di setiap sudut terminal, lampu merah dan tempat ramai bisa kita temui peminta-minta beserta pendermanya. Sayangnya, jumlah dan jenis peminta-minta makin hari semakin bervariasi dan menghawatirkan, kini bukan hanya orang dewasa tuna karya yang menjadi pelakunya tapi juga anak kecil telah menjadi bagian yang sama dan tak kalah banyaknya. Artefak-artefak dari budaya mengemis ini adalah uang hasil meminta-minta. Sedangkan aktivitasnya adalah usaha-usaha yang mereka lakukan dalam mengumpulkan artefak (uang) tersebut.
Jika sudah memenuhi ketiga aspek di atas maka (sesuai teori dari Honigmann dan Koenjtaraningrat) tindakan “meminta-minta” telah menjadi budaya. Itulah alasan mengapa pertumbuhan pengemis di Indonesia sangat sulit untuk ditekan yakni karena telah menjadi budaya. Buktinya? Sekarang ada istilah kampung pengemis di Indramayu, itu adalah bentuk nyata ketika suatu tindakan telah menjadi budaya dan akhirnya memengaruhi segala aspek kehidupan yang berada di dalamnya.
Bukan hal yang mustahil akan muncul kampung-kampung serupa di tanah Ki Gede Sebayuini. Mimpi buruk itu akan benar-benar kita hadapi ketika apa yang terjadi pada anak-anak di TRASA terus dibiarkan oleh kita, pemerintah dan para orang tua mereka. Jangan sampai kemudian, pengertian TRASA yang artinya Taman Rakyat Slawi dikonotasikan menjadi Taman Rakyat memintA SedekAh. Kita yang telah dewasa dan cakap dalam pemikiran seharusnya mampu berpikir lebih jauh dari mereka dengan mengingatkan, membimbing pemikiran mereka yang salah dan terlalu sederhana karena telah membuang aspek penting dalam kehidupan mereka, yaitu pendidikan. Jika itu memang benar-benar terjadi lalu kemana uang APBN>20% itu mengalir? Terbuang sia-sia~
Urgensi yang perlu disadari bersama adalah bahwa kebiasaan meminta-minta khususnya di sekitar TRASA berpotensi besar membentuk kampung pengemis dengan alasan yang pertama yaitu seluruh dari mereka yang meminta-minta adalah anak kecil yang mana merupakan generasi penerus pembangunan 20-30 tahun mendatang. Ditambah kini mereka telah mulai meninggalkan aspek pendidikan yang mana itu merupakan bukti bahwa mereka telah masuk pada zona nyaman atas kebiasaan mereka meminta-minta. Ini tidak boleh dibiarkan jika tidak akan tumbuh kepercayaan dalam diri mereka bahwa tindakan yang mereka lakukan tidaklah salah dan telah dibenarkan. Kedua, jumlah mereka semikin hari semakin banyak, kini bukan hanya anak dari keluarga miskin dan broken home tapi mereka dari keluarga sederhana (dalam arti mampu) pun mulai ikut-ikutan menjadi peminta-minta.Ini terjadi (sekali lagi) karena adanyapengaruh kepercayaan yang menganggap hal itu tidak dipermasalahkan. Di sini,terlihat jelas jika peran bimbingan orang tua di rumah dan sekolah (guru)selama ini masih belum maksimal bahkan (mungkin)tidak ada maka disini tugas pemerintah daerah khususnya dinas pendidikan dan pemuda Kabupaten Tegal untuk memberikan treatment melalui optimalisasi peran bimbingan guru dan orang tua. Ketiga, jangan sampai generasi muda Kabupaten Tegal bermental (maaf) ngemis.
Solusi efektif yang bisa penulis tawarkan adalah dengan memberikan intervensi budaya. Seperti yang dilansir di Harian Kompas bulan Juli 2013 bahwa solusi efisien untuk melawan budaya negatif adalah dengan mengintervensi ketiga aspek budaya negatif tersebut dengan budaya-budaya positif. Pertama, tentu saja melalui aspek kepercayaan dan tindakan, termasuk memberikan treatment melalui bimbingan guru, orang tua, ustadz dan lembaga sosial lainnya. Namun demikian, metode ini cenderung disepelekan oleh anak-anak maka menurut penulis metode intervensi yang paling efektif untuk –saat ini- mengubah aspek kepercayaan masyarakat adalah dengan membuat papan reklame yang melarang orang untuk memberikan sedekah atau uang receh kepada anak-anak, metode ini sudah diterapkan di kota-kota besar seperti Yogyakarta. Dengan adanya papan reklame tersebut (khususnya di TRASA) secara tidak langsung akan memberikan sugesti yang akan diinternalisasikan oleh masyarakat bahwa memberikan uang receh kepada anak-anak (pengemis) adalah hal yang tidak dibenarkan karena memiliki alasan jangka panjang. Di sisi lain, secara teori juga akan mengubah sudut pandang dan kepercayaan anak-anak dengan memahami makna papan reklame tersebut.
Selanjutnya adalah dengan mengintervensi aspek budaya yang ketiga, yaitu artefak. Tentu saja keinginan orang untuk berderma bukanlah hal yang seharusnya dilarang maka solusi yang tepat adalah mengubah artefak uang dengan bantuan dalam bentuk makanan, pakaian, atau perhatian. Sedangkan untuk jenis artefak uang bisa disalurkan melalui lembaga sosial yang bertanggung jawab.
Mungkin solusi di atas terlihat mudah untuk diaplikasikan namun tanpa adanya komitmen dan kreativitas dari pemerintah beserta masyarakat untuk memecahkan persoalan tersebut maka “mimpi buruk itu” cepat atau lambat akan menjadi kenyataan.
Ditulis oleh Rizqi Prasetiawan,13/07/2014
Tulisan ini Kami tujukan kepada setiap insan khususnya kami sendiri para pejuang MERCON (MEraih Rahmat dan Cinta On ramadhaN), para pejabat pemerintah yang memiliki kuasa lebih besar dari kami dan segenap masyarakat Kabupaten Tegal yang memiliki tangan, kaki dan hati lebih banyak daripada kami.