Pada hari Rabu, 13 Maret 2013 yang lalu, bertempat di Gedung Kesenian atau Gedung Rakyat Slawi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal menggelar kegiatan penting, yaitu pentas wayang tutus sekaligus pengambilan gambar untuk direkam dalam bentuk CD/DVD. Pentas menghadirkan dalang sekaligus pencipta wayang tutus sendiri, Pak Kasirun pring (61 tahun) dari Desa Balapulang, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal.
Pentas didahului dengan sambutan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal, Bapak Drs. Heru Widiono, M.Si yang menyampaikan bahwa salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan di Kabupaten Tegal adalah dengan pendokumentasian wayang tutus, sehingga dikenal oleh masyarakat terutama generasi muda.
Pentas disaksikan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal, Dra. Wuninggar, dan Kepala Seksi Nilai Budaya dan Kesenian, Pembayun Sulistyorini, S.S, serta beberapa stafnya. Saat itu, Pak Kasirun menampilkan wayang tutus dengan cerita “Gendowor; Martoloyo Martopuro”. Cerita ini berkisah tentang Bupati Tegal. Pada waktu itu, Martoloyo yang berperang melawan Belanda, dibantu oleh abdinya yang setia, Gendowor. Cerita ini mengandung makna pentingnya kesetiaan pada leluhur dan bangsa serta menjaga martabat manusia dari penjajahan bangsa lain.
Wayang Tutus
Wayang tutus tak jauh beda dengan wayang kulit. Baik dari segi tokoh yang dibuat, cerita yang dimainkan, ukuran, maupun bentuk. Wayang tutus terbedakan dalam beberapa hal, antara lain bahan, ketahanan, serta model pementasannya. Namun secara umum, wayang tutus merupakan sisi lain kreativitas seniman tradisional dalam bentuk wayang. Atau dapat dikatakan, wayang tutus merupakan versi lain bentuk wayang Jawa.
Wayang tutus terbuat dari bambu (bahasa Jawa: pring) yang dibelah tipis-tipis (tutus). Di pedesaan Jawa, tutus biasa digunakan para petani untuk mengikat padi mereka setelah panen, atau untuk mengikat bambu atau kayu yang akan dibawa pulang. Oleh karena wujudnya yang tipis, tutus rentan patah. Selain itu, bambu juga rentan oleh kutu, sehingga mudah keropos.
Wayang tutus termasuk seni tradisi lisan. Wayang tutus dipentaskan oleh seorang diri sang dalang. Musik pengiring berasal suara mulut sang dalang. Pergantian antar-babak dalam cerita ditandai dengan ketokan kayu. Wayang tutus praktis menghadirkan pesan dalam cerita yang ditampilkan. Penonton didorong untuk memahami pesan dalam cerita. Oleh karena itu, wayang tutus menuntut keahlian sang dalang dalam bercerita.
Dalam pementasannya, wayang tutus biasa mengetengahkan cerita-cerita rakyat, semisal legenda atau dongeng. Sebagai contoh adalah cerita Gendowor; Martoloyo Martopuro. Sebuah kisah tentang seorang abdi dalam pemerintahan Tegal pertama. Pementasan wayang tutus juga tidak membutuhkan waktu lama seperti wayang kulit. Wayang tutus cukup disampaikan selama kurang lebih 1-2 jam, dengan cerita yang lebih singkat. Tokoh dalam wayang tutus juga tidak sebanyak dalam wayang kulit. Jumlahnya wayang tutus sekitar 20 buah dengan gunungan. Meskipun demikian, menurut Pak Kasirun, wayang tutus juga dapat dibuat lebih banyak sesuai kebutuhan.
Kasirun Pring
Kasirun adalah dalang sekaligus pencipta wayang tutus. Sejak dulu, Ia hidup sendiri, sederhana, dan bersahaja. Pak Kasirun mantan petugas penjaga pintu kereta, kini ia sudah pensiun. Usianya sudah 61 tahun, tubuhnya gemuk, namun ia masih kuat memenuhi panggilan untuk mendalang di mana saja. Begitu juga saat ia diminta untuk mendalang di Gedung Kesenian Kabupaten tegal kemarin. Ia mendalang wayang tutus selama kurang lebih satu jam.
Di kalangan seniman Tegal dan masyarakat sekitar, ia dikenal dengan Kasirun pring. Pring merujuk pada asal tutus. Ia tak risau dengan sebutan itu, bahkan ia senang, karena masyarakat mengenalnya. Kasirun belajar mencipta wayang tutus secara otodidak (belajar sendiri). Semula ia hanya suka menonton wayang kulit. Lalu ia berimajinasi dan mencoba membuat wayang dari tutus bekas ia mengikal padi. Setelah itu, dahulu ia mencoba memainkan wayang tutus buatannya di sawah di hadapan teman-temannya layaknya dalang. Seusai pentas, ia membagi-bagikan wayang tutus buatannya ke teman-temannya secara percuma.
Dalam usianya yang sudah senja sekarang, Kasirun Pring masih terus membuat wayang tutus hingga. Di rumahnya yang sempit dan kurang terawat, wayang tutus buatannya memenuhi dinding kamarnya. Wayang-wayang itu ditata rapi sepanjang tembok kamar, namun tidak dengan gamelan yang dimilikinya, berserak tak teratur. Di usianya yang tua, Kasirun pring tetap setia dengan kesenian tradisional yang digelutinya. Ia bertekad melestarikannya meski dengan atau tanpa ada orang lain yang melestarikannya.
Namun sangat disayangkan, ia tak punya keturunan, jadi tak ada lagi penerusnya. Bisa dipastikan, wayang tutus akan punah. Oleh karena itu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan merencanakan untuk membuat pelatihan membuat dan mendalang wayang tutus dengan menghadirkan Pak Kasirun. Tujuannya agar tercipta generasi penerus wayang tutus.
Festival Tradisi Lisan
Guna menarik minat generasi muda dan melstarikan wayang tutus, pada hari Rabu, 20 Maret 2013 yang lalu, bertempat di Balai Diklat Perikanan Tegal, kompleks SUPM kota Tegal, diadakan festival Tradisi Lisan se-Jawa Tengah. Festival ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan ini mengambil tema: Revitalisasi Tradisi Lisan Sebagai Media Penanaman dan Pendidikan Budi Pekerti dalam Rangka Penguatan Jati Diri dan Pembangunan Karakter Bangsa. Dalam kesempatan tersebut, Disparbud Kabupaten Tegal mengirim Pak Kasirun Pring untuk ikut festival tersebut.
Kegiatan berlangsung selama dua hari, Rabu hingga Kamis, tanggal 20-21 Maret 2013. Festival itu sendiri diikuti oleh enam kelompok pengiat tradisi lisan di Jawa Tengah. Yakni dari Kabupaten Tegal, Karanganyar, Kebumen, Jepara, Semarang, dan Brebes. Festival memperebutkan hadiah berupa trophy.
Harapannya, suatu saat dapat digelar festival wayang di Tegal, wayang tutus salah satunya. Tujuannya, agar wayang tutus dapat sejajar dengan kesenian wayang yang lain, dan masyarakat jadi semakin mengenal wayang tutus, syukur mau mempelajari.
Penulis: Yusuf Efendi, Pamong Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan di Tegal