SEPEKAN setelah merayakan Hari Kemenangan, umat Islam di beberapa daerah, menggelar Syawalan atau Lebaran Ketupat.
Ketupat termasuk makanan khas di Hari Raya Idul Fitri. Budaya Syawalan biasa disebut Lebaran Ketupat. Orang Jawa menyebutnya dengan Lebaran Kopat atau Syawalan. Syawal nama bulan dalam kalender Islam.
Tradisi ini bagi masyarakat Jawa, menjadi ritual rutin yang digelar sepekan setelah Idul Fitri, atau usai menjalankan puasa Syawal selama enam hari. Secara harfiah, ketupat jenis makanan yang dibuat dari pembungkus pelepah daun janur berbentuk hati, di dalamnya berisi beras dalam keadaan matang.
Ketupat hanyalah bentuk simbolisasi yang bermakna hati putih, yang dimiliki seseorang yang kembali suci. Ketupat dalam bahasa Jawa diterjemahkan dengan ‘Laku Lepat,’ di dalamnya mengandung empat makna. Yakni lebar, lebur, luber, dan labur.
Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah ceria. Secara keseluruhan dapat dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia, setelah segala dosa yang sedemikian besar tersebut diampuni, untuk kembali jadi orang suci, serta bersih.
Berbagai kelompok masyarakat di sejumlah daerah, khususnya di Pulau Jawa, mempunyai ciri atau cara masingmasing, dalam memaknai Lebaran Ketupat. Masyarakat yang tinggal di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Sehari menjelang Lebaran Ketupat, yang jatuh tanggal 8 Syawal tiap tahun, beramai-ramai menyerbu pasar untuk membeli berbagai keperluan bahan pembuat ketupat.
Bila berkesempatan ke sana, setiap rumah pasti menyediakan ketupat. Masyarakat setempat mengawali prosesi Lebaran Kopat atau Syawalan, dengan mengunjungi atau menziarahi makam ulama maupun tokoh agama, yang sangat disegani atau dihormati. Setibanya di makam, mereka melakukan ritual keagamaan dengan doa bersama, sekaligus memperingati wafatnya sang tokoh serta populer disebut haul.
Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984: 328) menerangkan, salah satu tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih hidup, adalah adanya penghormatan kepada makam-makam orang suci. Baik ulama atau kiai. Setelah doa, mereka bersama-sama menikmati sajian hidangan yang tersedia dengan menu utama berupa ketupat.
Sementara masyarakat Desa Krapyak, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah memperingati Syawalan dengan membuat lopis raksasa, ketinggian sekitar dua meter berdiameter 150 cm. Tradisi ini sudah ada sejak 1855 M, yang pertama kalinya digelar KH Abdullah Sirodj, keturunan dari Kiai Bahu Rekso.
Kegiatan itu sebagai sarana menciptakan kerukunan umat muslim. Disamping media syiar agama Islam. Ribuan warga rela berdesakan, dan saling berebut mendapatkan potongan lopis raksasa. Setiap tahun kue lopis bertambah besar, karena banyaknya warga yang terlibat.
Sedangkan masyarakat di Jepara, menyebut Syawalan dengan Lomban. Prosesinya diawali dari kawasan pelelangan ikan, Ujung Batu, Jepara. Di sana masyarakat menyediakan sesaji, berupa satu kepala kerbau dihiasi pernak-pernik makanan dan sayuran. Usai doa bersama dipimpin seorang kiai, seluruh sesaji diletakkan di atas kapal kecil, untuk dilarung di tengah laut.
Pada waktu itulah sesaji jadi rebutan para nelayan atau warga sekitar. Tradisi ini sebagai bentuk ungkapan syukur, atas perlindungan dan berkat yang diterima masyarakat Jepara selama satu tahun, dan memohon perlindungan atau rejeki berlimpah untuk satu tahun mendatang. Tradisi tersebut hingga kini terus dipertahankan.
Berbeda dengan daerah lain. Tradisi Syawalan hingga kini dipertahankan dan berlangsung meriah. Di Kota Tegal dan sekitarnya, tujuh hari setelah Lebaran, masyarakat kembali pada aktivitas semula. Bahkan sebagian besar pemudik kembali ke Jakarta. Mereka disibukkan dengan urusan ekonomi dan kepentingan lain.
Pemerhati sosial Atmo Tan Sidik menuturkan, dengan Syawalan maka amal ibadah seseorang makin meningkat. Termasuk kepedulian pada sesame, setelah menjalan ibadah puasa sebulan penuh, diharapkan kian bertambah. (din)
Sumber: Radar Tegal 04 Agustus 2014