Menyambut Hari Bahasa Ibu Internasional, yang jatuh pada tanggal 21 Februari, para Seniman / Penggiat dan Pemerhati Sastra Tegalan menggelar Diskusi Sastra & Budaya dengan tema “Ngresula Kelangan Bahasa”, di Panggung Budaya TBMP “Sakila Kerti” Panggung Tegal, Senin (16/02) malam.
Kehilangan Bahasa Daerah, yang ditengarai badan organisasi dunia Unesco yang berpusat di New York, AS dalam penelitian terhadap perkembangan bahasa-bahasa daerah di seluruh jagat, menyatakan bahwa tiap satu abad ada sekitar 726 ribu bahasa (kata) yang hilang. Sehingga pernyataan Unesco tsb paling tidak membuat keprihatinan dan kegelisahan tersendiri, khususnya Seniman / Penggiat atau Pemerhati Sastra Tegalan, yang peduli terhadap perkembangan bahasa daerahnya yang semakin terpinggirkan dari waktu ke waktu hilang tergerus peradaban zaman.
Memang kalau kita simak dari perkembangan komunikasi pergaulan bahasa yang disampaikan oleh masyarakat dari waktu ke waktu di sekitar kita, di jumpai ada beberapa bahasa (kata) yang hilang (punah), atau tidak di gunakan lagi sebagai bahasa keseharian.
Dengan adanya ancaman kepunahan bahasa daerah yang semakin terasa ( Bahasa Ibu yang ada di Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes), beberapa Seniman Penggiat dan Pemerhati Sastra Tegalan, mendiskusikan hal itu, agar ada sebuah solusi ataupun gerakan budaya yang bisa mengerem, mengurangi, atau mencegah dari kepunahan.
Diantaranya Drs Atmo Tan Sidik (Maestro Seni Tradisi), M Hadi Utomo (Penyusun Kamus Bahasa Tegal), Dr H.Maufur (Sastrawan Tegalan), dan Gyong Gyong (Pengamat Tegalan), sebagai narasumber, yang dipandu moderator Denhaz Yussac, juga hadir rekan seniman Dwi Ery Santoso, Bontot Sukandar, Dr Yusqon, Azizi, Nanang, Suloso, M.Syafi’i, Darwanto, Supardji, Abidin Abr dan lain-lainnya.
Dalam dialog sastra malam itu, bisa disimpulkan bahwa, merawat bahasa daerah (bahasa ibu) adalah solusi yang paling tepat untuk melestarikan bahasa itu sendiri, dan bagaimana agar para sastrawan dan penggiat sastra tegalan itu bisa berkarya, baik karya puisi, cerpen, novel, filem, dan paling tidak karya-karya tersebut nantinya bisa menjadi dokumen sejarah bahasa daerah (bahasa ibu) dari ancaman kepunahan bahasa.(Dok : Farhendi DH)
Sumber: Farhendi Dh.