Awalnya kami agak pesimis bagaimana menemukan sejarah Tegal dalam sebuah novel? Namun ketika membaca novel Pengendara Badai yang disusun oleh Lanang Setiawan terbitan Binatng WarliArtika, semua rasa pesimis langsung sirna. Pada bab-bab awal banyak menceritakan kondisi Tegal pada sekitar tahun 1950 di mana masih eksisnya bioskop Dewa dan Dewi di Alun-alun Kota Tegal dimana kedua bioskop tersebut memiliki kategori pelanggannya masing-masing. Bioskop Dewa atau Rex biasa memutar film India dan film-film nasional dimana kebanyakan penontonnya adalah masyarakat kelas pinggrian, berbeda dengan bioskop Dewi/ Roxi yang merupakan bioskop kelas elite yang memutar film-film Hongkong dan Hollywood.
Beralih pada bab berikutnya, ada banyak cerita tentang Pak Lanang Setiawan beserta rekan-rekannya dalam memperjuangkan teater Tegalan yang pada saat itu langsung mendapatkan banyak kritikan namun juga booming saat pentas, dan juga perjuangan dalam membuat media cetak di Tegal.
Yang menarik dalam novel ini adalah kita bisa mengetahui tokoh-tokoh kawakan yang senantiasa menjaga budaya Tegal. Sebut saja Pak Hadi Utomo, Yono Daryono, Nurngudiono, Najeeb, Eko Tunas, dan masih banyak lagi yang lainnya yang perjuangan mereka tentu saja tak mudah. Mulai cibiran, tak adanya dana yang mencukupi, soal promosi yang masih harus door to door, hingga ada kisah dari Lanang Setiawan sendiri yang “dikeroyok” warga karena mengadakan tukar pikiran mengenai lagu Tegalan hingga larut malam. Kejadian tersebut dijadikan sebuah lagu yang berjudul Tragedi Jatilawang.
Gaya bahasa yang disajikan sungguh asyik, karena banyak disisipi bahasa Tegalan. Bagi yang tak paham dengan artinya, ada glosarium istilah pada halaman akhir novel. Lirik dan pantun Tegalan juga senantiasa dihadirkan di novel yang berjumlah 251 halaman ini.