Dialek Tegal dalam Perspektif Warisan Kekayaan Budaya

Hadi Utomo, Bahasa Tegal

Hadi Utomo, Bahasa TegalPendahuluan

Dalam terminologi politik kebangsaan, kata bahasa terkait dengan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan mengenai bahasa daerah disebutkan dalam pasal 32 (ayat2) bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.  Jika dialek Tegal dimaknai sebagai subsistem dari bahasa daerah (Jawa) maka dialek Tegal adalah kekayaan budaya daerah yang juga harus dihormati dan dipelihara. Dialek Tegal adalah ragam bahasa setempat yang sejak lama digunakan sebagai sarana komunikasi,ekspresi budaya dan kreatifitas seni, serta identitas sosial warga masyarakat yang berasal dan berdomisili di wilayah Kabupaten/Kota Tegal dan sebagian Kabupaten Brebes.

Warisan Turun Temurun

Karena tidak pernah diajarkan di sekolah maka Bahasa Tegal hanya berkembang sebagai bahasa tutur dan bukan bahasa tulis. DR.Maufur, mantan Wakil Walikota Tegal yang gemar berbahasa Tegal mengatakan bahwa Dialek Tegal adalah bahasa “sesrawungan” atau bahasa pegaulan. Yang dimaksud tentu saja bahasa pergaulan antar “wong Tegal” sebagai sesama penutur Dialek Tegal.

Bahasa pergaulan lebih banyak menggunakan dialog verbal berupa percakapan, obrolan, senda gurau, bahkan makian. Jarang kita menemukan Dialek Tegal dalam narasi teks, tulisan atau korespondensi. Itulah sebabnya Dialek Tegal seringkali sulit digunakan untuk komunikasi formal semisal pidato, sambutan, upacara resmi, surat menyurat dsb. yang membutuhkan susunan kalimat dan pilihan kata yang sopan dan halus.

Kebiasaan berbahasa Indonesia membuat penutur Dialek Tegal mengalami kesulitan manakala menemukan istilah yang sulit dikonversikan kedalam Bahasa Tegal. Kata-kata yang sering diucapkan dalam pidato atau sambutan misalnya: dalam rangka, akan berlangsung, akhir-akhir ini, ijinkanlah, meluangkan waktu…dsb, sulit dicari padanannya dalam Bahasa Tegal.

Dialek Tegal bahkan memiliki ciri dan kaidah tersendiri dalam hal fonetis-fonologis (huruf dan bunyi),morfologi (pembentukan kata dengan penambahan/pengurangan huruf) , sintaksis (susunan kata dalam kalimat) maupun semantik (tatabahasa).

Pemanfaatan Dialek Tegal

Dalam tataran praktis Dialek Tegal sudah sejak lama digunakan untuk pelbagai kepentingan. Dengan populasi penduduk di 3 wilayah (Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan sebagian Kabupaten Brebes) yang berjumlah lebih dari 3 juta jiwa, maka Dialek Tegal secara massif dan mayoritas masih digunakan untuk interaksi dan komunikasi sehari-hari. Slogan Kabupaten Tegal Mbetahi lan Ngangeni dan Kota Tegal Keminclong Moncer Kotane terpampang ditempat-tempat umum. Media lokal baik cetak maupun elektronik, setiap hari juga menampilkan rubrik-rubrik khusus Dialek Tegal. Surat kabar Radar Tegal memiliki rubrik Ngresula, yakni rubrik Surat Pembaca berdialek Tegal. Begitu juga surat kabar Suara Merdeka secara berkala menampilkan obrolan Dialek Tegal Warung Poci yang ditulis secara bergantian oleh DR. Maufur dan Yono Daryono. Bahkan setiap peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal dalam acara Sidang Paripurna Khusus DPRD juga menggunakan Dialek Tegal. Bahkan Dialek Tegal juga digunakan untuk Upacara Bendera pada pelbagai peringatan hari-hari penting nasional dan daerah.

Di media radio Dialek Tegal hingga saat ini masih mendominasi program-program siaran baik berupa obrolan, interaktif, spot iklan maupun jingle aneka produk. Sejak tahun 80-an hingga saat ini Lagu-lagu Tegalan (lagu dangdut maupun pop berbahasa Jawa Dialek Tegal) juga sudah banyak diproduksi dan digemari masyarakat. Dialek Tegal juga sudah sejak lama digunakan sebagai sarana penyampaian Dakwah, baik berupa ceramah-ceramah agama maupun Khotbah Shalat Jum’at di mesjid-mesjid tertentu di wilayah ini.

Di bidang sastra sudah banyak diterbitkan buku-buku fiksi maupun non fiksi antara lain Kumpulan Puisi (antologi),Novel , Kumpulan Cerpen bahkan Kamus Bahasa Jawa Dialek Tegal. Nama-nama seperti Atmo Tan Sidik, Eko Tunas, Lanang Setiawan, Nuhidayat Poso (alm.) , Nurngudiono (alm), Diah Setyawati, Bontot Sukandar, Apito Lahire, dan lain-lain adalah sederet nama diantara nama-nama lain penulis dan penggiat Sastra berbahasa Jawa Dialek Tegal yang cukup terkenal.

Sejak tahun 70an hingga saat ini Dialek Tegal juga sudah banyak menghiasi layar kaca maupun televisi melalui penampilan para pelawak Tegal seperti Kholik, Cici Tegal, Kasino dan lain-lain, meskipun baik Cici maupun Kasino bukan orang Tegal.

Yang sangat fenomenal adalah kreatifitas Ki Enthus Susmono (Bupati Tegal) yang mengangkat Dialek Tegal pada pementasan-pementasan wayang kulit dan wayang golek yang bertajuk Wayang Santri. Melalui kelompok Satria Laras yang dipimpinnya, Ki Entus Susmono juga berhasil menggali gending-gending klasik Tegalan yang populer pada tahun 1930-an misalnya gending Ayun-ayun Badan, Blenderan Tegalan, Thowet-thowetan Pilus, Pangkur Comal dan lain-lain.

Dialek Tegal juga masih digunakan dalam gending/lagu yang mengiringi pertunjukan kesenian lokal khas Tegal misalnya Sintren, Lais, Tari Topeng Endhel, Kuntulan dan lain-lain.

Maraknya jejaring sosial di internet dewasa ini juga diramaikan dengan penggunaan Dialek Tegal dari puluhan Grup berbahasa Tegal yang anggautanya sampai ribuan warga Tegal dan berasal dari pelbagai wilayah di tanah air.

Bahasa Halus dan Bahasa Kasar

Dialek Tegal hanya mengenal strata bahasa ngoko dan bebasa (krama) dan tidak mengenal krama inggil,sebagaimana bahasa Jawa baku. Beberapa pakar linguistik menerangkan adanya “kekuasaan simbolik” yang menciptakan/ menumbuhkan strata bahasa baru sebagai lambang kekuasaan. Hal ini dilakukan oleh kekuasaan Mataram dengan menciptakan strata bahasa baru untuk membedakan adanya feodalistik, raja dan kawula, priyayi dan bukan priyayi, bahasa rendahan dan adiluhung, yang berakibat pemberian stigmatisasi kepada penuturnya sebagai kelompok masyarakat yang rendah, kasar, tidak punya tatakrama dan tidak bisa menduduki jabatan2 tertentu.

Sebagai turunan langsung dari bahasa Jawa Kuno, Dialek Tegal memiliki leksikon emotif yang sangat spesifik, yaitu banyak menggunakan fonem-fonem b,dh,g dan j yang mengesankan bunyi tebal dan kasar (mis.anjog>datang // njujug>langsung // njeblug>meletus / /nyrudug>menerjang //wadhag>kasar dsb.)

Stigmatisasi kasar dan rendahan yang ditimpakan kepada pengguna Dialek Tegal juga sering menimbulkan rasa rendah diri dan tidak percaya diri. Tetapi terkadang juga mengakibatkan reaksi perlawanan dengan bahasa yang sungguh-sungguh kasar yang mereka ciptakan sendiri. Pengalaman bertahun-tahun menyusun kamus Dialek Tegal, penulis menemukan puluhan kosakata kasar yang berkonotasi makian (fuck) yang sengaja diciptakan dan dipopulerkan oleh penutur tertentu. Hampir semua nomina yang berkaitan dengan anggauta badan dan verba aktifitas sehari-hari memiliki bahasa kasar atau makian tersebut.
Namun yang unik bahasa makian model Tegal ini seringkali justru dijadikan sarana untuk menjajarkan kesetaraan dan menambah kekraban.

Setiap etnis dan bahasa ibu memiliki karakter masing-masing, bagaimana bahasa tersebut memiliki ungkapan-ungkapan honorifik,sebagai penghormatan kepada lawan bicara. Kepada orang yang lebih tua,yang baru dikenal, pejabat, sesepuh dan ulama Dialek Tegal-pun memiliki ungkapan honorifik, yang khas dan spesifik,tidak sama dengan bahasa Jawa baku.

Dialek yang Unik dan Eksotik

Dialek Tegal memiliki ciri dan kaidah tersendiri dalam hal fonetis-fonologis (huruf dan bunyi),morfologi (pembentukan kata dengan penambahan/pengurangan huruf) ,sintaksis (susunan kata dalam kalimat) maupun semantik (tatabahasa).
Bahasa Tegal memiliki kosakata yang sangat rinci.dan sangat kontekstual.

elik = istri yang kembali kerumah orangtuanya karena belum cukup umur // purik = istri yang kembali ke rumah orangtuanya karena cekcok atau marahan
njiwit,nyethot,nyethit,njewel,nyemol,nyuwol dsb = mencubit.
rada, radan, sada, sadan, srada, semadan, semandan, manda, mada, madan, semanda, dsb….= agak.
Ajektif yang mnenunjukkan setengah/hampir/antara : mis. semineb= hampir pingsan // cepel = hampir kering // gemadhing = hampir matang dsb.

Penutup

Dialek atau ragam bahasa lokal memegang peran yang sangat penting dalam upaya penyampaian pesan dan gagasan-gagasan dalam kearifan lokal. Dialek lokal lebih komunikatif sehingga nilai-nilai kebajikan yang disampaikan dapat segera diterima, dihayati dan diaktualisasikan oleh masyarakat. Dongeng, cerita rakyat, ujaran, wejangan, mantra dan lain-lain semua dikemas dalam dialek lokal. Selanjutnya dialek lokal menjadi sarana ekspresi dan kreatifitas yang kita sebut sebagai kesenian daerah. Dialek lokal juga menjadi ciri dan identitas (jatidiri) yang membedakan satu etnis (suku bangsa) dengan etnis yang lain.

Dalam konteks Dialek Tegal Kongres Bahasa Tegal I yang diprakarsai Pemkot Tegal pada 4 April 2006 di Tegal sebenarnya merupakan secercah harapan untuk mampu menumbuh kembangkan Sastra Tegalan. Beberapa rekomendasi yang sangat relevan adalah agar difungsikannnya bahasa Tegal sebagai penguat identitas dan kebanggaan masyarakat, dan juga sebagai sarana ekspresi budaya. Bahasa Tegal juga akan dipelihara dan dikembangkan melalui kurikulum sekolah. serta akan dibentuk lembaga kajian dan pengembangan bahasa Tegal.Dan yang lebih penting adalah pemberian apresiasi dan penghargaan kepada masyarakat yang menunjukkan karya berprestasi dan berdedikasi dalam memuliakan bahasa Tegal. Namun harapan tetap tinggal harapan…10 tahun sudah berlalu namun tidak satupun rekomendasi yang direalisasikan oleh pemangku kebijakan yang terkait.

Jika kepunahan sebuah bahasa adalah suatu keniscayaan,maka bagi pemerhati dan pecinta Dialek Lokal maupun Regional hanya ada satu tindakan untuk menunda atau memperlambat kepunahan tersebut yakni dengan merawat dan mencatatnya…

Ditulis oleh: Pak Hadi Utomo (Makalah ini disusun untuk disajikan dalam Seminar Perkembangan Bahasa Jawa Dialek Temporer dan Regional dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional.
Tempat : Hotel Grand Trisula Indramayu, Minggu 21 Pebruar2016).

Related posts

Leave a Comment