Satu lagi potensi yang dimiliki Desa Sindang. Selain pepaya California yang telah manjadi trade mark desa itu, potensi batik tulis yang kini dikembangkan batik cap tetap bertahan di bawah naungan KUB (Kelompok Usaha Bersama) Sido Makmur yang dipimpin Sri Rahayu.
Gelontoran bantuan untuk sarana dan prasarana (sarpras) membuat dinamika pembatik terus berkarya di tengah tipisnya modal yang tersedia. Meski demikian, setidaknya upaya untuk terus mempertahankan tinggalan tradisi, membuat pembatik terus berkarya, meski sebatas sebagai kerja sambilan.
Tradisi membatik nyaris punah. Namun, kemudian dikembangkan kembali di era 2007, oleh Pemerintah Desa Sindang di bawah kendali Kades Suyitno. Kini sekitar 17 pembatik terus berkarya di bawah payung KUB Sido Makmur. Awalnya perajin di sini terfokus pada batik tulis. Seiring permintaan pasar, upaya mendalami batik cap kini mulai dikembangkan. “Beragam pelatihan sempat diikuti perajin atas prakarsa pemkab melalui dinas koperasi, UKM, dan pasar. Mereka sempat digembleng di Solo untuk mengikuti pelatihan batik cap dan pewarna,” tegas Suyitno.
Tak berhenti di situm pemkab melalui bapermades dan suntikan provinsi, setidaknya mampu memenuhi sarana dan prasarana pendukung bagi perajin. Sementara itu, Ketua KUS Sido Makmur, Sri Rahayu, mengaku, meki mulai mendalami batik cap, perajin tetap mengerjakan batik tulis untuk memenuhi selera pemesan. “Untuk batik cap, satu produk minimal dibanderol Rp. 60.000 dan termahal Rp. 100.000. Namun untuk batik tulis, minimal dibandrol Rp. 80.000 hingga termahal Rp. 300.000,” ujarnya.
Dia mengaku, selain masih terkendala permodalan yang dimiliki perajin, soal pemasaran produk juga menjadi sandungan hingga kini. Momen pameran menjadi ajang untuk mengenalkan produk batik Sindang ke khalayak sekitar Tegal dan Brebes. “Untuk bahan baku hingga kini tidak ada masalah. Justru perajin tersandung kecilnya modal untuk membeli mori, malam, hingga bahan pewarna. Bantuan uang didapan selama ini baru sebatas alatnya saja dan belum menyentuh permodalan,” tuturnya.
Di sisi lain dia masih dipusingkan terkait rencana mematenkan produk batik Sindang. Hal itu agar tidak diklaim pembatik lain yang tersebar di kawasan Pantura. Perajin yang terkonsentrasi di RT 02 dan 03 RW VI itu bermimpi, kelak rutinitas membatik bukan hanya sebatas sebagai kerja sampingan. Namun, bisa menjadi pekerjaan tetap untuk menopang perekonomian keluarga.
“Kami sudah punya satu corak unggulan yang tidak dimiliki perajin lain. Soal nama corak sedang kami pikirkan,” ujarnya. Dia pun optimis dengan mulai mendirikan ruang pamer. Misalnya di Trasa kelak bisa menjadi media promosi produk batik Sindang yang punya ke-khasan khusus dari produk-produk batik di wilayah Kabupaten Tegal. (*/fat).
Laporan Hermas Purwadi, Radar Tegal 14 November 2014