Ketika penyair W.S Rendra meninggal pada tahun akhir 2009, kekuasaan di negeri ini membisu, banyak orang maklum karena tabiat kekuasaan tidak lebih dari sebuah kecongkakan yang dungu dan buta, tetapi ketika sebagian besar bangsa ini juga tidak menganggapnya sebagai (meminjam Chairil Anwar) kehilangan benar adalah masalah lain. Semuanya dianggap,seperti dikatakan Giambattista Vico (1648-1744 M), sebagai perulangan hidup bisa, bukan sebuah perulangan yang agung. Semua orang Indonesia merasa masih sehat dan baik-baik saja walaupun daya kebangsaannya telah jatuh merosot pada titik yang paling nadir: Bangsa ini sudah tidak tahu bagaimana cara merumuskan kebudayaannya, bahkan untuk sebuah urusan sederhanasaja, yakni tidak mampu memberikan sebuah penghormatan kepada para penyangga kebudayaan nyasehingga telanjanglah sebuah keniscayaan bangsa inisebagai sebuah bangsa yang lumpuh. Jika meminjam gaya bahasa Rendra: sebuah bangsa yang “lemah dan tidak berdaya”!
Demikian pula yang dilakukan oleh bangsa ini kepada almarhum Ki Slamet Gundono (1966-2014). Kepergiannya tidak menjadi catatan publik, hanya menjadi catatan jurnalistik kapitalisme media massa. Kinerja kebudayaannya dikenang hanya dalam acara ritual tahlilan, dan haul karena Gundono adalah seorang santri. Padahal kepergiannya adalah kehilangan besar bagi “perahu” tradisi bangsa. Catatan, rekaman,dan inventaris terhadap pertunjukannya, musik, dan banyak lainnya berserakan entah di mana. Inilah yang dialami oleh banyak orang di negeri paska-jajahan seperti di Indonesia, pergi dalam kegetiran dan kesepian.
Kebudayaan bukanlah wilayah se-sakral seperti diandaikan jamahir (orang kebanyakan), kebudayaan merupakan belantara yang tidak bisa dilepaskan dari kefanaan (worldiness). Kebudayaan merupakan ikhtiar, pergumulan manusia dengan kefanaan itu sendiri. Kerja kebudayaan adalah kemampuan (daya) manusia memberi makna pada niscayanya kefanaan itu sendiri, tidak berambisi menyangkalnya tetapi tidak membiarkan kefanaan itu melululantahkan manusia, ngeli nanging ora keli. Dalam sebuah perbandingan: kebudayaan dalam imaginasi orang di negeri patirtan (negeri air) seperti Indonesia bukanlah ikhtiar menyangkal campur tangan Tuhan, dan menyangkal kegetiran hidup tetapi lebih ditujukan untuk merumuskan sebuah kerja keras manusia agar mampu bertahan tanpa mencedrai alam dan manusia. Ini adalah postur kebudayaan bangsa sebelum era peralihan, sebelum kedatangan dominasi tiga saudara kembar” modernitas-kapitalisme-kolonialisme” yang kemudian melahirkan “keterjajahan tanpa jeda” (dalam istilah Garcia Marquez). Kondisi keterjejahan (coloniality) terus berlangsung sampai hari ini. Pada situasi keterjajahan itu pula seorang seniman tradisional seperti almarhum Gundono harus bergumul, bertahan, dan bergerak: sebuah situasi yang tidak saja sulit tetapi membutuhkan daya yang besar. Gundono adalah salah seorang dari sedikit seniman tradisi yang mampu mengarungi keniscayaan perubahan yang dialami oleh tradisinya. Apa itu tradisi dalam konteks keterjajahan semacam ini?
Gundono dalam banyak tulisan disebut sebagai seniman yang tidak mau terbelenggu oleh tradisi, oleh warisan seni tradisi. Tetapi orang melupakan bahwa Gundono juga tidak berambisi mendefrag tradisinya sehingga babak-belur tanpa bentuk. Ia lebih pada rumusan kerja budaya tidak ambisius: menguasai serpihan seni tradisi bangsanya yang tercerai-berai oleh dampak apokaliptik keterjajahan. Benar ia menafsir,menjarwa,mengurai lapisan makna tradisinya tetapi praktik ini justeru membuatnya semakin bersiteguh dengan tradisinya. Ia menafsir karena tahu sebagian besar sejawat bangsanya mengalami kebutakasraan tradisi sendiri.Ia tidak terlalu yakin mampu berkarya tanpa kaki tradisinya. Seakan ia menangkap,bahwa tradisi itu memiliki logika sendiri, memiliki jalur kehidupan sendiri. Perbedaannya dengan modernitas bahwa tradisinya tidak memiliki jangkar politik-ekonomi, padahal kedua jangkar itu dibutuhkan untuk menegakkan harga diri tradisinya, bukan sematamasalah otonomi tradisinya. Gundono tidak saja mendalang,bernyanyi, memainkan ritme yang menyayat dan menggeret tetapi ia bertemu, bergaul, menimba, bertukar dan bersambung rasa dengan seniman tradisi lainnya, ia tidak larut mengejar aspek ekonomi dari keseniannya seperti yang dilakukan seniman lainnya.Dengan para pemodal kebudayaan ia bersendagurau sepanjang tidak merestriksinya, dengan mereka ia bernegoisasi tetapi tidak mau terbelenggu. Gundono bukanlah orang munafik tentang niscayanya aspek ekonomi kerja kebudayaan, tetapi tidak rela kerja kebudayaannya jatuh menjadi formal- fungsional. Maka ia tidak kewalahan dengan mereka, ia terus bergerak tanpa jeda ke mana-mana. Ia merambah kesenian manapun, seperti dikatakannya “mencari dan memanggul kasih sayang (tresna) hampir kepada setengah jagad”: sebuah peran kandha buwana yang rendah hati.
Saya mengikuti Gundono dalam pencarian saya mengenai pengertian seni pesantren. Saya menyambanginya ke Solo, bertemu di Yogyakarta, mendengarkan artikulasinya yang bernas tentang kerja keseniannya. Saya semakin terkesima dengan pencapiannya, terutama pada album Julungsungsang (2013) karena album tidak saja meneguhkan tujuan kesenian masyarakat tradisi tetapi bagaimana Gundono dengan jelas melampui batasan pentatonik-diatonik seni tradisi. Menontonnya, membuat saya menyangkal seni pesantren yang “terbatas” : hadrah dan sejenisnya. Wali Songo yang menjadi jangkar pesantren telah mengolah kesenian hampir menyeluruh: dari hulu yang “tinggi” sampai hilir yang “populer”. Saya juga menyangkal pendapat Sayyedi Hossein Nasr, Ian Buchadart, Oliver Leeman, sampai al-Faruqi mengenai “seni Islam” karena pendapat mereka tidak sepenuhnya “nyambung” dengan praktek kesenian pesantren warisan abad 15 Masehi. Pada sosok Ki Slamet Gundono saya menemukan ritme yang jelas tentang sosok seniman tradisi, termasuk seni pesantren. . Ini bukanlah sebuah klaim, kebiasaan melakukan ‘klaim’ ala pesantren, tetapi terhenyak karena keniscayaan demikian: Ki Slamet Gundono adalah sebuah teladan (examplary moral) dalam jagad kesenian tradisi. Dan kepergiannya adalah lumernya teladan itu sendiri. Tapi dunia pesantren sendiri pun tenggelam dalam ketidakberdayaan menangkap ini. Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh : Hasan Basri Marwah, M.Hum
Lurah Pesantren Kaliopak dan Ketua Lesbumi PWNU, Yogyakarta