“Wonge langka, lagi pada ning kuburan….”
Kata-kata itulah yang hampir setiap tahun saya dengar ketika bertandang ke rumah tetangga selepas Shalat Iedul Fitri. Agak menjengkelkan memang, namun ini merupakan sebuah tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang. Bisa dimaklumi, karena rata-rata warga di Tegal sendiri merupakan perantauan dan pulang setahun sekali ketika Lebaran. Dan biasanya mudik ketika malam takbiran.
Tahun ini lebaran saya habiskan di salah satu desa di Kabupaten Tegal, hanya berbeda kecamatan dengan tempat tinggal saya. Dan saya mengalami sendiri bagaimana penduduk tersebut setelah Shalat Ied, bersalam-salaman dengan seluruh anggota keluarga dan kemudian berbondong-bondong menuju ke makam keluarga dengan berbekal bunga dan beberapa lembar tikar sebagai alas duduk.
Momen tersebut tidak saya lewatkan begitu saja karena saya baru mengalaminya sendiri. Dengan berbekal kamera saku (fotonya tidak saya publish di sini 😀 ), saya mengikuti tradisi ziarah tersebut. Sesampainya di makam, benar saja, kompleks makam menjadi penuh tidak seperti hari-hari biasanya. Tampak 1 keluarga besar mengelilingi satu pusara salah satu anggota keluarga yang sudah terlebih dahulu dipanggil Yang Maha Kuasa. Dengan menggelar tikar, mereka mulai berdo’a dan sesekali membersihkan makam dari rumput-rumput liar.
Ternyata di areal pemakaman pun bisa menjadi ajang silaturahmi, terbukti di tempat inilah kita bisa bertemu dengan tetangga atau saudara dengan bersalam-salaman. Suasana kuburan yang tadinya terkesan angker kini malah menjadi riuh. Dari sinilah terlihat sisi positif dari tradisi Ziarah pasca Lebaran. Selain kita ingat kepada Yang Maha Kuasa, kita bisa juga sembari bersilaturahmi.
Jadi jangan heran lagi, ketika berlebaran di Tegal dan silaturahmi ke rumah tetangga, banyak rumah yang kosong ditinggal ziarah oleh pemiliknya 🙂 Daerah ma asaja nih yang masih memegang teguh tradisi ini?
Ditulis oleh salah satu pengelola @infotegal. Foto: Radar Tegal 4 Agustus 2014