Dinung Jon! Sebuah Seruan Semanak Wong Tegal

Budaya Moci Tegal

Budaya Moci TegalDinung Jon!, menjadi seruan semanak wong Tegal, menjadi potret budaya marung yang kental. Jangan heran jika setiap jengkal di pinggir jalan kota Tegal pasti ada warung, dalam jarak langkah kaki. Banyak usaha kuliner digeluti warga Tegal, sebagai pelaku Warung Tegal (warteg). Ingat budaya marung, saya jadi teringat kejayaan Warung Damah, di era 80-an yang sempat menjadi tempat tarung kreatifitas seniman Tegal saat itu.

Budaya marung dan tarung saat ini begitu kental, sekental suguhan teh poci Yu Damah. Ikon warung poci Yu Damah ini menasional, karena setiap ada muhibah seniman luar daerah ke Tegal selalu dijamu di sini.

Sastra Tegal pun tak bisa dipisah dengan poci. Label “poci” bahkan dilekatkan pada antologi berseri Puisi Negeri Poci, digawangi sastrawan nasional Hendrawan Nadesul. Beberapa komunitas pun lahir dari rahim warung poci Tegal, seperti Komunitas Damah di era 80-an yang mengentalkan pada Komunitas Studi Group Sastra dan Teater Tegal (SGST), di samping base camp sastra dan teater RSPD di jalan Betik sampai pindah ke Siwalan sebagai tempat klekaran seniman. Komunitas Sorlem juga mengkristal dari warung poci (ngingsor pelem) di pinggir Kalimati, bagian ujung utara Kali Gung.

Warung lain yang juga sempat moncer di pinggir Alun-Alun yaitu Komunitas Roti Bakar “Dian Gendut”, tempat reriung multi strata dari seniman, politisi, hakim, bahkan sampai tukang parkir nyaru dalam keakraban kebuketan teh poci, roti bakar dan isu aktual kota Tegal. Warung Seniman di depan Gedung Kesenian Tegal, juga menjadi spektrum baru kreatifitas seniman Tegal. Energi wagistel Warung Seniman juga mampu mereduksi kreatifitas seniman Tegal. Siraman jog kreatifitas seniman Tegal yang dulu sempat lahir dari romantisme rahim Yu Damah, Sorlem dan Dian Gedut, bisa kembali ngejawantah dalam budaya marung dan tarung di Warung Seniman.

Eksotisme Moci Kalahkan Bir

Minuman teh poci gula batu mampu menderaskan ide, seperti tutur Yono Daryono, bahwa citra rasa teh campur gula batu memberi energi tersendiri bagi si pengkonsumsi untuk melek, bahkan bisa mendorong imajinasi. Siap mengalahkan kopi Arabika, bahkan kilauan busa bir bintang sekalipun. Buktinya, puncak prestasi era Damah dibangun dari sela-sela cipok (moci lan ndospok – minum teh poci sambil ngobrol), kata seniman Tegal yang mampu membawa muhibah seniman Tegal ke “kiblat” seni nasional, diantaranya pentas di Bengkel Teater Rendra, Taman Budaya Solo, TIM dan tahun 1991 pemuatan sastra Tegal di Majalah Horison puncak literer pengakuan Sastra Tegal.

Istilah Moci sebetulnya berasal dari aktifitas minum teh yang diseduh di dalam poci, alat minum terbuat dari tanah liat yang dibakar. Filosofinya, sebuah karya yang enak dinikmati dihasilkan dari bara kreatifitas. Aktifitas moci sebetulnya seperti minum teh biasa. Namun yang istimewa adalah suasana yang dibangun pada saat melakukan aktifitas minum teh ini. Sehingga aktifitas minum teh ini kemudian lebih dikenal dengan istilah “moci”.

Moci boleh dibilang sebuah tradisi, karena awalnya moci berkembang dari kebiasaan orang-orang tua yang gemar minum teh dan gula batu sebagai teman membunuh waktu. Bahkan untuk penanda takzim orang-orang muda kepada orang tua saat sowan, biasanya membawa buah tangan gula dan teh, orang Tegal menyebutnya “gulateh” . Sementara tuan rumah akan berbalas sambut dengan suguhan minuman teh poci. Tradisi inilah kemudian berkembang menjadi kebiasaan yang tidak hanya digemari kalangan orang tua saja, tetapi mulai digandrungi kawula muda. Tradisi moci telah berkembang dan ditangkap sebagai peluang bisnis bagi orang Tegal untuk membuka warung poci.

Tak heran jika wajah malam kota Tegal dihiasi poci di pinggir jalan. Maka orangpun menjuluki Tegal “negeri poci”. Bahkan untuk melegitimasi Pemkot Tegal memecahkan rekor MURI dengan acara moci bareng dengan jumlah peminum teh terbanyak pada saat peringatan hari kemerdekaan tahun 2005, dengan mencatatkan 1.005 peminum teh poci secara bersama-sama di Alun-alun kota Tegal.

Sesuatu yang menarik bagi penggemar moci adalah suasana yang dibangun pemilik warung. Walau warung-warung ini ada di emper jalan, bukan berarti penikmatnya kalangan bawah, namun banyak datang dari kelas menengah dan orang-orang kantoran. Sebetulnya apa yang mereka cari di warung poci adalah suasana. Ya, suasana santai, ngobrol bercengkrama dengan teman, kolega atau mitra bisnis. Tak jarang arena moci menjadi mimbar diskusi dengan waktu yang relatif lama. Bahkan bisa juga digunakan sarana refreshing dimana penikmat bisa melepaskan pandangan mata tanpa di batasi sekat, menikmati suasana alam terbuka.

Kini budaya moci telah menjadi life style kalangan menengah, karena telah menjadi alat pelepas kepenatan bagi eksekutif setelah seharian bekerja Sambil minum teh, berkumpul dengan kolega, atau membicarakan bisnis ditemani minum poci. Bahkan banyak politisi membicarakan hal-hal yang bersifat politis diawali dari ritus moci.

Suasana seperti inilah yang sering digunakan masyarakat Tegal untuk menyuguhi teman atau saudara dari luar Kota, dengan mengajak mereka melewatkan malam di warung poci. Belum afdol rasanya, kalau belum moci Tegal, sembari menikmati aroma teh poci Tegal dengan suguhan tempe mendoan khas Tegal, tahu aci, dan semakin malam bertambah seram, karena munculnya “ponggol setan”. Seram, yang sengaja dibangun pemilik warung dengan suguhan “ponggol setan” yang keluarnya saat jam malam. Poci dalam frame budaya telah menjadi idiom baru “mantu poci”. Sebuah lelaku budaya warga Tegal yang menghelat pernikahan, namun mereka tak mempunyai anak, maka mengawinkan poci di pelaminan menjadi kelaziman untuk membuka tamu di daerah Tegal. Jika ditilik dari fasilitas yang disuguhkan warung – warung poci di pinggir jalan ini biasa-biasa saja, tidak ada fasilitas yang wah, atap terbuka, menggunakan kelasa pandan atau plastik untuk duduk, menggunakan meja kecil atau bahkan tanpa meja. Tetapi diantara fasilitas ala kadarnya ini tersimpan eksotisme. Di sana ada suasana, dimana bisa menikmati aroma teh yang khas, menikmati teh poci berjam-jam, tanpa takut diusir sang pejual.

Di balik kelebihan suasana yang didapatkan, ternyata kompensasinya pun tak terlalu mahal. Artinya, moci relatif bisa dijangkau kocek cekak. Para pemburu suasana bisa menghabiskan waktu berjam-jam di warung poci, sampai tengah malam. Bahkan jarang sekali ditemui penikmat poci hanya sebentar singgah. Kalau di tempat minum lain, jika minuman habis, maka selesai pulalah prosesi minum teh. Di Tegal cukup unik, peminum minta diisi kembali, jika air teh telah habis, maka pemilik warung akan menuang kembali air teh dengan gratis, istilah Tegalnya “jog”.

Poci dan Warung adalah sebuah metafor, ibarat etalase, adalah ruang kreatifitas yang siap membuka diri untuk menjadi penjaja karya dan terbuka menerima penikmatnya.

Penulis: Turah Untung, Penulis adalah staf Pemkot Tegal, peminat masalah budaya. Ditulis di Warta Bahari edisi 87/ 2015.

Related posts

Leave a Comment