Langgar Dhuwur, Tegal Barat, Tempat Berkumpulnya Saudagar

Langgar Dhuwur, Tegal Barat

Langgar Dhuwur, Tegal BaratPerkembangan Islam di wilayah eks-Karesidenan Pekalongan tahun 1800 lalu bermula dari Tegal. Terbukti dengan berdirinya musala (langgar) yang menjadi tempat ibadah dan berkumpul para saudagar Muslim Melayu pada masa itu.

Hawa sejuk langsung terasa begitu menjejakkan kaki di musala tua itu. Meskipun tak dilengkapi alat pendingin ruangan dan di tengah terik matahari, tak ada gerah sama sekali.

Musala tertua di Tegal atau dikenal Langgar Dhuwur itu berada di Dukuh Pesengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Letak langgar yang sudah berdiri sejak tahun 1820, hanya berjarak sekitar 50 meter dari jalur utara Pantura Jalan Gajahmada.

Menurut keterangan pengurus Langgar Dhuwur, Helmi Saleh (45), musala itu berdiri tahun 1800. Pada masa itu, para pedagang Muslim yang tiba menggunakan kapal dari Gujarat, Melayu, Pakistan, India dan Kalimantan sering singgah di Tegal untuk berdagang.

Para saudagar sekaligus menyebarkan agama Islam di wilayah Tegal, Brebes, Pemalang, Pekalongan dan Batang.

Kemudian, seorang pedagang Melayu bernama Mukmin, mengusulkan pendirian sebuah tempat ibadah.

“Awalnya Langgar Dhuwur ini masjid. Juga digunakan untuk tempat berkumpul dan beristirahat para pedagang, kemudian menjadi musala sekitar tahun 1936,” ujar Helmi Saleh, Rabu (24/6).

Para saudagar Muslim membangun Langgar Dhuwur dengan cara membeli kayu-kayu bekas galangan kapal yang sudah tidak terpakai atau rusak.
Kayu-kayu tua yang berbentuk lonjong bulat, memiliki lebar berdiameter 50 sentimeter dengan panjang hampir 15 meter, menjadi tiang penyangga, dan ada dua saka yang berdiri kokoh di dalam langgar.

Bangunan langgar terdiri dari dua lantai. Lantai pertama dulu adalah ruangan untuk tempat beristirahat dan menyimpan barang. Sedangkan bangunan lantai dua untuk tempat beribadah.

Dalam perkembangan, Langgar Dhuwur pernah menjadi tempat pertama pemberangkatan calon jamaah haji dari wilayah eks-Karesidenan Pekalongan.

“Pemberangkatan haji atau sebagai embarkasi pertama dari wilayah eks-Karesidenan Pekalongan ya di sini, sekitar tahun 1850 silam. Dulu yang mengajak berangkat haji ya para saudagar dari Melayu dan Gujarat dengan menggunakan kapal,” ujar dia.

Sebelum berangkat ke Tanah Suci, jamaah berkumpul di Langgar Dhuwur untuk melakukan manasik dan pembekalan oleh Syekh Zaenal Kadir yang akan mendampingi jamaah selama di Tanah Suci.

“Tak banyak calon jamaah haji pertama yang berangkat ke Tanah Suci. Tak lebih dari 20 orang,” kata Helmi.

Ia mengungkapkan, Langgar Dhuwur yang kini berubah nama menjadi Musala Istiqomah pada tahun 1980 merupakan bangunan cagar budaya. Sejak awal berdiri langgar ini belum pernah mengalami pemugaran.

“Hanya ada perbaikan sedikit pada bagian dinding langgar pada tahun 2005 lalu,” jelasnya.

Hingga kini, Langgar Dhuwur yang dibangun di atas lahan 172 meter persegi dan memiliki luas bangunan 80 persegi masih berdiri kokoh dan digunakan warga sekitar untuk beribadah sehari-hari. Meski demikian, menurut Helmi, beberapa bagian kayu penyangga atap sudah keropos dan hampir patah.

Untuk itu, ia dan pengurus langgar telah mengajukan dana ke Pemkab Tegal untuk perbaikan Langgar Dhuwur. “Kemungkinan akan diperbaiki tahun 2016 mendatang,” ungkapnya.

Ia mengatakan bangunan Langgar Dhuwur adalah bangunan yang memadukan tiga kebudayaan, yakni Melayu, Jawa, dan kebudayaan Arab.
Ciri khas Arab dapat dilihat dari bentuk ornamen dinding yang bermotif pahatan garis-garis dan berbentuk kerucut segilima.

Sedangkan kebudayaan Melayu diwakili pintu dan jendela yang memiliki lubang-lubang ventilasi. Masuk ke bagian dalam Langgar Dhuwur, akan menjumpai tiang-tiang dari kayu jati bekas kapal, yang merupakan khas bangunan Jawa. (*)

Penulis: fajar eko nugroho
Editor: Catur waskito Edy
Sumber:Tribun Jateng

Baca juga, Langgar Dhuwur Pesekongan.

Related posts

Leave a Comment