Untuk menghidupi wilayah Tegal yang baru dibuka, Ki Gede Sebayu jelas membutuhkan pasokan air untuk mengairi lahan-lahan pertanian warga. Untuk itulah, beliau sebagai bupati pertama Tegal meminta bantuan tiga orang ‘dugdeng’ untuk mengupayakan pengairan ini. Untuk pengairan wilayah barat ke selatan, dipercayakan kepada Mbah Mayakerti (Bumijawa), wilayah barat ke utara dipasrahkan kepada Mbah Siketi (Dukuh Benda), dan wilayah tengah ke timur kepada Mbah Rindik (Tuwel).
Nama asli Mbah Rindik ialah Raden Abdul Hamid, masih keturunan Sunan Gunung Jati dan merupakan mantan pasukan Mataram. Dalam pengembaraan gerilyanya, ia memutuskan untuk menetap di lereng bagian utara Gunung Slamet. Sebagaimana umumnya hutan belantara, banyak bersemayam makhluk-makhluk halus nan garang. Tentu saja Mbah Rindik musti menundukkan para mbaurekso ini dulu sebelum bisa tenang menempati wilayah yang akan dibuka.
Beliaupun bertapa di dalam hutan, di atas sebongkah batu besar yang kemudian dijuluki sebagai ‘Batu Sakti’. Setelah bermujahadah sekian lama, beliau pun mampu taklukkan dedemit hutan yang menyerupa Kliwon si Ular Besar, Macan Putih, dan Banaspati dengan perkenan Allah.
Setelah steril, beliau mulai babat alas dan membuka pemukiman baru. Makin ramailah penghuni wilayah itu, termasuk Mbah Sinjem, kawan baik Mbah Rindik yang merupakan pembawa panji Kraton Mataram semasa perang dahulu. Daerah ini kemudian bernama Tuwel yang konon berasal dari kata Arab ‘thowiil’ (panjang). Memang wilayah Desa Tuwel terbentang panjang dari selatan ke utara, ada belasan dusun di desa ini. Masyarakat desa menjuluki beliau ‘Rindik’ sebab cara berjalan beliau yang pelan (indik-indik). Makin lama makin terasa kebutuhan irigasi bagi sawah-sawah warga.
Seiring dengan instruksi Ki Gede Sebayu, Mbah Rindik pun mulai menyusur bantaran Kali Gung yang berhulu dari Gunung Slamet. Di sebuah air terjun sisi selatan Dusun Guci, beliau bermujahadah. Tirakat beliau membuahkan hasil, atas izin Allah memancarlah mata air panas dari balik curug yang menambah debit air Kali Gung. Aliran sungai ini terbagi menjadi arus Kali Gung dan arus menuju Banyumudal Suniarsih, keduanya bertemu kembali di Kalibakung yang di kemudian hari dibuatkan bendungan oleh Ki Gede Sebayu di Desa Danawarih.
Dari aliran Kali Gung ini pulalah Mbah Rindik menggali parit sepanjang persawahan Desa Tuwel dari ujung selatan hingga ujung utara. Hingga hari ini, parit galian beliau menjadi sungai kecil yang masih dimanfaatkan warga desa sebagai instrumen irigasi. Mata air panas temuan beliau pun masih memancar deras, tepatnya di balik Curug Sigeong, dekat gerbang tiket Obyek Wisata Guci. Batu Sakti tempat beliau bertapa, masih kokoh berdiam dikerubungi rimbunan bambu di tepi kali kecil belakang rumah penulis. Sedangkan jasad Mbah Rindik bersama sahabatnya, Mbah Sinjem, dimakamkan di Dusun Dukuh Tere Desa Tuwel, dekat pemakaman umum masyarakat.
Hikayat Mbah Rindik ini baru satu dari sekian ribu kisah tokoh di kabupaten Tegal. Ada 314 desa atau kelurahan yang terbagi menjadi 22 kecamatan di wilayah kabupaten dan kota Tegal. Bila dalam satu desa saja ada dua hingga tiga tokoh ulama yang bisa dicatat, bayangkan ada berapa ratus hikayat yang bisa didokumentasikan. Inilah upaya yang hendak diikhtiarkan oleh Tim Riset Santrijagad, menelusuri jejak para ulama sepuh yang tersebar di seantero kabupaten dan kota Tegal.
Wilayah riset akan dibagi menjadi enam daerah; Area A (Suradadi, Warureja), Area B (Dukuhturi, Talang, Tarub, Kramat), Area C (Slawi, Pangkah, Dukuhwaru, Adiwerna), Area D (Lebaksiu, Margasari, Balapulang, Pagerbarang), Area E (Bojong, Bumijawa, Jatinegara), dan Area F (Kota Tegal). Untuk itu Tim Riset Santrijagad akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi sedulur Tegal untuk menjadi surveyor di wilayah desa/kecamatan masing-masing. Anda berminat gabung? Nantikan informasinya di fanpage Santrijagad.
Ditulis oleh Zia Ul Haq di laman Facebooknya.