
Jika Anda berpikir tulisan ini akan membahas fenomena mistik yang dibalik tewasnya wisatawan di obyek wisata baru bernama Goa Lawa, Kabupaten Tegal, mohon maaf, Anda salah sangka. Tulisan ini sama sekali tidak akan memunculkan konspirasi setan, seperti memedi, lelembut, atau tuyul dan sebangsanya yang mungkin Anda gemari dan pikirkan ketika membaca awal judul tulisan ini. Justru sebaliknya, tulisan ini lebih banyak ngresula-nya (baca: mengeluh) dan mohon maaf mungkin Anda atau saudara Anda termasuk orang yang sedang saya keluhkan atas tewasnya seorang wisatawan di obyek wisata Goa Lawa, Kabupaten Tegal.
Ada apa dengan Goa Lawa? Apa yang terjadi?
Bagi Anda yang belum mengetahui kejadian tewasnya salah satu wisatawan di obyek wisata Goa Lawa tersebut monggo cek dulu di berikut ini.
Seperti yang saya sampaikan di awal bahwa tulisan ini merupakan bentuk keresahan yang menjadi-jadi setelah mencoba mengikuti kasus naas tersebut. Keresahan ini muncul karena banyak sebab, tapi puncaknya adalah ketika mendapati komentar miring yang bernada menyalahkan wisatawan yang tewas dalam tragedi mengenaskan tersebut. Kurang lebih begini komentarnya “siapa suruh rekreasinya ke tempat neko-neko yang gak jelas keamanannya, jadinya kan begitu!”.
Dalam hati saya merasa kasihan pada korban dan segenap keluarganya, sudah tertimpa bencana masih saja disalahkan, padahal dalam agamapun rosul telah memberikan teladan melalui hadistnya yang berbunyi “Janganlah kalian memaki orang-orang yang telah meninggal, karena (jika demikian) bisa menyakiti orang-orang yang masih hidup”. [HR. Ahmad juz 6, hal. 342, no 18235]
Di sisi lain, keresahan ini juga bersumber dari kekecewaan saya pada pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal, menurut saya pihak pemerintah memiliki andil dan tanggung jawab atas terjadinya tragedi mengenaskan ini.
Dua hari sebelum tragedi itu terjadi, saya mengunjungi obyek wisata tersebut karena didorong rasa penasaran, apalagi basic keilmuan saya pariwisata yang mengharuskan diri menjadi orang yang paling responsif terhadap isu-isu pariwisata di sekitar, termasuk kehadiran obyek wisata baru. Selama rekreasi tersebut tidak lupa saya kumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai obyek wisata tersebut. Maka, dapatlah salah satu data yang menurut saya penting, yaitu keberadaan dan kelangsungan obyek wisata tersebut ternyata sudah genap satu tahun. Selama satu tahun itu, salah seorang warga lokal menyatakan bahwa pengembangan dan pengelolaan obyek dilakukan swadaya masyarakat dan tanpa basic keilmuan serta pendampingan dari pemerintah atau LSM, masyarakat hanya mengandalkan kemampuan mengira-ngira, ditambah sedikit pengalaman dari mengamati pengelolaan obyek wisata yang telah lebih dulu ada, mereka juga mengakui bahwa sebenarnya telah banyak wisatawan yang menjadi korban dari medan rekreasi yang menantang menuju Goa Lawa, seperti jatuh karena terpeleset atau kelelahan. “Banyak yang jatuh, tapi alhamdulillah paling cuma terkilir kakinya atau lecet-lecet” jawab salah satu pedagang ketika ditanya apakah sering terjadi kecelakaan di situ.
Jika Anda juga pernah ke sana, tentu tragedi semacam itu menjadi sangat rasional dan logis bukan? Lalu apa hubungan dengan pemerintah?
Bagi saya membiarkan obyek wisata tersebut beroperasi tanpa keamanan dan fasilitas keselamatan yang memadai, ditambah tidak ada pengawasan dan pendampingan adalah kesalahan yang juga dilakukan pemerintah. Coba bayangkan, setahun beroperasi tanpa ada standar keselamatan padahal jelas telah banyak korban jatuh luka-luka, tapi di mana peran pemerintah? Keberadaannya menjadi misteri. Itulah kenapa saya mengambil judul ini.
Puncaknya ketika obyek tersebut tepaksa mengambil “tumbal” nyawa untuk mengingatkan pemerintah, keberadaan pemerintah pun masih menjadi misteri hingga saat ini. Sejauh ini belum saya temukan berita belasungkawa disertai permohonan maaf kepada keluarga korban dari pemerintah. Sangat disayangkan karena berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tegal No. 8/2008, seharusnya disparbud menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan pembuat kebijakan teknis di bidang pariwisata, termasuk memberikan ijin operasional dan pendampingan terhadap obyek wisata baru di Kabupaten Tegal.
Berbeda ketika membandingkannya dengan peran yang dijalankan Disparbud Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yaitu ketika kemunculan awal obyek wisata Goa Pindul tahun 2011 silam, sebagai stakeholder yang menjalankan fungsi regulasi Disparbud DIY segera menjalankan tupoksinya dengan membuat kebijakan teknis yang mengatur ijin operasional dan pengelolaan obyek wisata Goa Pindul. Respon cepat tersebut sekaligus menjadi titik temu atas konflik pengelolaan yang sebelumnya dikuasai oleh kelompok-kelompok masyarakat yang saling mengklaim memiliki hak pengelolaan.
Nasi telah menjadi bubur, nyawa yang menghilang tentu tidak bisa dikembalikan, tetapi harapannya cukup satu nyawa itulah yang menjadi pengingat dan pembelajaran untuk kita agar lebih baik ke depan. Tentu tujuan akhir dari tulisan ini bukanlah memberikan rasionalisasi kepada siapa kita harus menyalahkan, tetapi lebih jauh harapannya tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kita masih memiliki pemerintah yang sedang berusaha menjalankan amanah yang berat, dan apabila pemerintah kita belum menjalankan fungsinya dengan baik maka tugas kitalah untuk mengingatkan. Serendah-rendahnya kontribusi itu mengingatkan, bukan? jangan sampai pihak yang bertanggung jawab justru berpangku tangan. Besar harapannya dalam waktu dekat ada respon baik dari pemerintah yang kita dengar, paling tidak ada langkah strategis yang muncul untuk merespon keberadaan obyek wisata baru pada umumnya dan Goa Lawa pada khususnya.
Apapun yang terbaik untuk Goa Lawa dan masyarakat Tegal.
#PrayforGoaLawa
Ditulis oleh:
Oleh Rizqi Prasetiawan
Mahasiswa S1 Pariwisata UGM
Sumber: Kritik Pariwisata
Saya pas keasana lihat minim peralatan. Minimal webbing,, helm harusnya ada..